Muhammad Bakri, mantan karyawan IKPP


 Muhammad Bakri mengalami kecelakaan kerja, yang mengakibatkan satu kakinya harus diamputasi. Setelah setahun menjalani perawatan yang ditanggung oleh perusahaan, ia kembali bekerja. Alhasil, pekerjaan yang ia geluti tak berjalan maksimal. “Saya mendapat nilai C terus,” katanya, mengenang kejadian itu. Bekerja dengan kondisi cacat selama lima tahun, membuatnya tak nyaman. Karena cacat, Bakri dianggap tidak produktif oleh perusahaan tempatnya bekerja itu. Di tahun 2010 ia pun dipecat.


Bakri tak larut pada kesedihan. Keterbatasan yang dimiliki oleh Bakri tak membuatnya minder, apalagi malas untuk berkarya. Sejak diamputasi, ia mencoba mengumpulkan beberapa orang yang memiliki nasib yang sama dengannya, mereka kaum difable. Misinya hanya satu, yaitu mendirikan organisasi untuk kaum difable. “Saya datang ke rumah-rumah penyandang cacat dan mengumpulkan mereka. Tujuan saya melakukan itu adalah saya ingin mendirikan satu organisasi yang bisa menjadi wadah bagi penyandang cacat, termasuk saya sendiri. Dalam jangka waktu dua tahun pencarian, saya hanya bisa menggandeng empat orang untuk ikut berorganisasi,” jelas Bakri.

Idenya untuk membuat organisasi bagi kaum difable ini diajukan ke tingkat provinsi Riau, dan disetujui. “Pada tahun 2005 Badan Pembina Olahraga Cacat (BPOC) didirikan. Perjuangannya mulai dari mengumpulkan orang-orang penyandang cacat itu sudah dimulai sejak tahun 2003. Di BPOC kami mengelompokan mereka sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka. Kalau kemampuannya pada olahraga ya dikelompokan ke bisa olahraga, dan kalau bakatnya ke yang lain kita arahkan ke sana. Di BPOC dibuat juga pelatihan-pelatihan keterampilan, seperti: menjahit, dll,” terang Bakri.

Selama BPOC berdiri, Bakri dan teman-temannya berupaya untuk menjaring para penyandang cacat di wilayah kabupaten Siak, Provinsi Riau. “Ada sekitar 273 pnyandang cacat yang menjadi anggota BPOC. Setelah didata dan saya interview ternyata hanya dua puluh persen diantara mereka yang berpendidikan,” ungkap Bakri. Mengetahui hal tersebut, Bakri pun bertekad untuk membuat SLB di kecamatan Tualang, Kabupaten Siak. “Sejak saat itu saya beritikad untuk bikin SLB. Pada tahun 2008 saya utarakan niat tersebut kepada istri saya, dan dia setuju,” tambahnya.

Motivasi Bakri untuk mendirikan SLB adalah ingin agar para penyandang cacat—baik fisik ataupun mental—memiliki kesempatan untuk mengakes pendidikan. “Ketika saya cacat di tahun 2001, saya melihat banyak penyandang cacat di wilayah saya yang hanya berdiam diri di rumah dan tidak diberikan kesempatan untuk punya kegiatan di luar. Karena cacat itu dianggap tabu, aib keluarga dan kutukan dari Tuhan. Jadi, orangtua dan keluarga yang memiliki anak atau anggota keluarga yang cacat biasanya di simpan di dalam rumah, tidak boleh keluar. Saya ingin agar mereka bisa berkarya, memiliki kegiatan di luar, berinteraksi dan memiliki kesempatan untuk bisa mengecap pendidikan,” ujar Bakri.

Bermodalkan uang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sebesar Rp 23 juta, tabungan dan pinjaman, Bakri memberanikan diri untuk mewujudkan niatnya membangun gedung SLB. “Pada tahun 2008 saya berupaya membangun gedung SLB dengan modal uang Jamsostek saya selama bekerja di PT. IKPP sebesar 23 juta, ditambah dengan tabungan anak saya yang sudah saya tabung sejak saya masih sehat sebesar 15 juta. Untuk tanah SLB yang saat ini berada di bawah yayasan saya beli dari hasil pinjaman dari PT Permodalan Siak (Persi) sebesar 35 juta, dengan jaminan sertifikat tanah milik saya yang saya beli dari hasil mengumpulkan uang saat saya masih bekerja di PT. IKPP,” jelas Bakri.

SLB yang diberi nama Fajar Amanah itu didirikan di dekat tanah kuburan di wilayah Perawang Kecamatan Tualang. “Banyak orang enggan dan takut karena lokasinya dekat tanah kuburan,” ucap Bakri. Saat ia membangun SLB tersebut, banyak orang yang mencemoohkannya. “Banyak yang mengatakan bahwa saya sudah stress, bahkan gila. Setiap hari datang ke kuburan untuk bersihkan lahan. Mereka tidak mengetahui niat saya membangun sekolah di sana,” sambung Bakri. Walau menuai cemoohan, Bakri bergeming. Tekadnya sudah bulat, semua uangnya dialokasikan untuk merealisasikan niat mulianya itu. Apalagi, di Kecamatan Tualang belum ada SLB. Fasilitas SLB Negeri bagi anak berkebutuhan khusus hanya tersedia di Kota Riau saja. Dan untuk mengakses kota, jaraknya cukup jauh dari wilayah Kecamatan Tualang.

Selama gedung SLB dalam proses pembangunan, Bakri mulai mencari murid. Dari satu rumah ke rumah lain ia berusaha mencari anak-anak berkebutuhan khusus untuk dijadikan muridnya. “Selama dua tahun saya berjuang dari satu rumah ke rumah lain mencari murid. Saya berupaya menjelaskan bahwa cacat bukanlah aib, hal yang memalukan atau kutukan dari Tuhan. Anak cacat juga harus diberikan kesempatan untuk belajar, sekolah. Saya jelaskan bahwa paling tidak jika sekolah anak mereka bisa membaca dan menulis,” ungkap Bakri. Tetapi, selama 2 tahun itu pula dirinya mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan berupa ejekan, makian, dan hinaan dari warga setempat. “Niat saya kala itu ingin mengajak warga mendirikan sekolah bagi anak cacat, namun bukan dukungan malah sebaliknya. Saya diludahi empat kali. Bahkan saya diusir,” katanya dengan nada lirih.

Upaya tersebut berbuah hasil. Dalam waktu dua tahun Bakri mendapatkan 13 murid. “Di antara mereka kebanyakan tunagrahita,” ucapnya Bakri. Namun, karena bangunan sekolah belum selesai dibangun, maka proses belajar-mengajar dilakukan di kantor BPOC. “Untuk tempat mengajar saya menumpang di kantor BPOC di sebuah ruko yang disewa. Selama kurang lebih enam bulan kegiatan belajar-mengajar dilakukan di sana,” terang Bakri.

Bangunan SLB Fajar Amanah baru selesai dibangun pada tahun 2009. Awal berdiri bangunan SLB tersebut tampak sederhana, karena dibangun dengan cara mencicil. “Awalnya, banyak yang bilang bahwa bangunan SLB ini seperti kandang kambing, karena dibuat dari papan-papan saja. Saya bangun dengan cara mencicil sesuai dengan kemampuan saya. Kalau ada uang, ditambah ini dan itu,” aku Bakri. Pernah suatu ketika ia mendapatkan penghargaan sebagai Pekerja Sosial di tingkat nasional dari Menteri Sosial pada tahun 2010, dan mendapatkan uang saku sebesar Rp 9 juta. Semua uang tersebut dialokasikan untuk membangun SLB. “Uang itu tidak saya berikan kepada istri saya, tetapi saya pakai untuk membangun ruang sekolah. Sejak tahun 2008 saya tidak pernah membrikan uang kepada istri saya. Semuanya saya gunakan untuk bangun SLB. Istri saya mencari uang sendiri dengan berjualan donat dan bakwan,” jelas Bakri, berkisah tentang dukungan besar sang istri padanya dalam merealisasikan cita-citanya membangun akses pendidikan bagi kaum difable.
Tak hanya ruang kelas, ada 14 tenaga pengajar yang dipekerjakan oleh Bakri untuk membimbing dan mendidik murid-murid di SLB Fajar Amanah. “Guru-guru itu saya gaji ada yang 300 ribu, 400 ribu, sampai 700 ribu. Tetapi, ada juga yang sukarela mengajar, tidak digaji,” sambungnya. Untuk bisa membayar gaji para guru tersebut, Bakri mematok SPP sebesar Rp 75 ribu per bulan. “SPP per bulannya itu tujuh puluh lima ribu rupiah. Tetapi, tidak semua orangtua dari tujuh puluh Sembilan murid yang aktif itu membayar sebesar itu. Hanya sekitar dua puluh orang yang bayar sesuai dengan SPP, sisanya ada yang hanya bayar sepuluh ribu atau bahkan tidak membayar sama sekali. Mereka itu dari kalangan tidak mampu dan anak yatim. Jadi, saya bilang tidak mengapa tidak bayar, yang penting anak bisa sekolah,” kata Bakri.

Kegiatan belajar mengajar di SLB Fajar Amanah dilakukan sesuai dengan kurikulum SLB. “Sesuai kurikulum SLB. Ada juga pelajaran Bina Diri untuk anak tunagrahita, pelatihan atau workshop, dan ikut beberapa kegiatan seperti lomba-lomba,” terang Bakri. Siswa-siswi SLB Fajar Amanah sudah menorehkan prestasi, diantaranya adalah Juara II tingkat SD dan tingkat Provinsi di Olimpiade Science IPA dan matematika pada tahun 2011; Juara II Pekan Pelajar Paralimpik daerah pada tahun 2011; lomba menggambar; dll. “Kita dapat medali perak untuk lomba lari seratus meter,” sambungnya.

Sumber : https://warcyber.wordpress.com/wp-admin/post-new.php

0 Response to "Muhammad Bakri, mantan karyawan IKPP"

Post a Comment