Dalam tradisi Jawa, hari raya pasca Ramadlan atau biasa di sebut dengan sebutan Bhada atau Riyaya itu ada dua macam. Bhada lebaran dan bhada kupat. Kata Bhada di ambil dari bahasa Arab “ba’da” yang artinya : sudah. Sedangkan riyoyo berasal dari bahasa Indonesia “ria” yang artinya riang gembira atau suka cita. Selanjtnya kata lebaran berasal dari akar kata lebar yang berarti selesai. Maksud kata lebar di sini adalah sudah selesainyanya pelaksanaan Ibadah pusasa dan memasuki bulan Syawwal/Idul Fithri. Relevansinya, hari ini di sebut “riyaya” karena umat Islam merasa bersuka cita sebagai ekspresi kegembiraan mereka lantaran menyandang predikat kembali ke fitrah/asal kesucian.
Adapun ketupat adalah makanan khas yang bahannya dari beras dibungkus dengan selongsong yang terbuat dari janur/daun kelapa yang dianyam berbentuk segi empat (diagonal), kemudian direbus. Pada umumnya kupat dihidangkan oleh umat muslim bersamaan dengan hari ke delapan yang biasa di sebut dengan “KUPATAN” atau “RIYAYA KUPAT”.
Asal Usul Tradisi Kupatan
Rasanya
amat sangat sulit menemukan kajian ilmiyah tentang sejarah/asal muasal
kupat. Namun menurut berbagai sumber, masyarakat jawa mempercayai bahwa
sunan Kalijaga adalah orang yang berjasa dalam hal mentradisikan kupat
beserta makna filosofis yang terkandung dalam makanan khas ini.
Secara filosofis, makanan khas “Kupat” ini memiliki banyak makna. Di antara makna itu adalah :
a. Kata
“kupat” berasal dari bahasa jawa “ngaku lepat” (mengakui kesalahan).
Ini suatu isyarat bahwa kita sebagai manusia biasa pasti pernah
melakukan kesalahan kepada sesama. Maka dengan budaya kupatan setahun
sekali ini kita diingatkan agar sama-sama mengakui kesalahan kita
masing-masing, kemudian rela untuk saling memaafkan. Nah, dengan sikap
saling memaafkan, dijamin dalam hidup ini kita akan merasakan kedamaian,
ketenangan dan ketentraman.
b. Bungkus
kupat yang terbuat dari janur (sejatine nur), ini melambangkan kondisi
umat muslim setelah mendapatkan pencerahan cahaya selama bulan suci
Ramadlan secara pribadi-pribadi mereka kembali kepada kesucian/jati diri
manusia (fitrah insaniyah) yang bersih dari noda serta bebas dari dosa.
c. Isi
kupat yang bahannya hanya berupa segenggam beras, namun karena
butir-butir beras tadi sama menyatu dalam seluruh slongsong janur dan
rela direbus sampai masak, maka jadilah sebuah menu makanan yang
mengenyangkan dan enak dimakan. Ini satu simbol persamaan dan
kebersamaan persatuan dan kesatuan. Dan yang demikian itu merupakan
sebuah pesan moral agar kita sama-sama rela saling menjalin persatuan dan kesatuan dengan sesama muslim.
Bid’ah Dlalalah kah Tradisi Kupatan?
Meskipun
riyoyo kupat sudah menjadi tradisi turun temurun dan dilakukan di
berbagai daerah, namun bukan berarti semua umat muslim mau melakukannya.
Ada yang menganggapnya bid’ah dan bahkan menuduh sesat, karena termasuk
mengada-ada dalam masalah ibadah.
Pada
hari raya Idul Fitri (1 Syawwal) semua orang Islam diharamkan berpuasa.
Pada hari berikutnya orang Islam sangat dianjurkan (sunnah muakkadah)
untuk melakukan puasa selama enam hari, baik secara langsung dan
berurutan, sejak tanggal dua Syawwal atau secara terpisah-pisah asalkan
masih dalam lingkup bulan Syawwal. Sabda nabi SAW :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصَوْمِ الدَّهْرِ. رواه مسلم (الجامع الصغير ص 307)
Artinya :
“Barang
siapa berpuasa Ramadlan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di
bulan syawwal, maka yang demikian itu seperti puasa setahun”. (HR. Imam
Muslim)
Setelah
puasa Syawwal, tidak ada tuntutan menyelenggarakan tradisi tertentu.
Maka ketika ada tradisi riyoyo kupat pada tanggal 8 Syawwal, hal itu
disebut bid’ah (suatu hal yang baru). Di sinilah terjadi perbedaan
persepsi di antara umat muslim. Sebagian ada yang mau melakukannya dan
sebagian yang lain ada yang tidak mau. Sumbernya adalah interpretasi
makna bid’ah itu sendiri, serta status amaliyah tradisi riyoyo kupat.
Pertama,
pendapat yang mendifinisikan “bid’ah” secara mutlak, yaitu segala hal
yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Sesuatu yang ada
kaitannya dengan ibadah dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi adalah
bid’ah dan haram dilakukan. Nah, karena tradisi kupatan dikategorikan
sebagai ibadah mahdlah (ritual murni) yang terikat dengan tata
cara yang didasarkan atas tauqif (jawa : piwulang) dari nabi. Maka hal
itu dianggap mengada-ada dan itu bid’ah. Setiap bid’ah adalah dlalalah. Sabda Rasulullah SAW. :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. رواه البيهقي عن عائشة (الجامع الصغير ص 296)
Artinya :
“Barang
siapa mengada-ada di dalam urusan agama kita ini, sesuatu yang tidak
bersumber darinya, maka hal itu ditolak” (HR. Imam Baihaqi)
Dan sabda Rasulullah SAW. :
وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ ذَلِكَ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ. رواه أبو داود والترمذي. أَيْ بَاعِدُوْا وَاْحذَرُوْا
اْلأَخْذَ بِاْلأُمُوْرِ الْمُحْدَثَةِ فِي الدِّيْنِ. (المجالس السنية شرح
الأربعين النووية ص 87)
Artinya :
“Jauhilah
hal-hal baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya hal tersebut adalah
bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
yakni kamu sekalian harus menjauhi dan mewaspadai perkara-perkara baru
dalam agama.
Kedua,
pendapat yan mengklasifikasi bid’ah menjadi dua : bid’ah hasanah (baik)
dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Karena tradisi kupatan dikategorikan
sebagai ibadah ghairu mahdlah (ritul tidak murni) yang perintahnya ada,
tetapi teknis pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi, maka tradisi
itu dianggap sebagai amrun mustahsan (sesuatu yang dianggap baik).
Pendapat
kedua ini bukannya mengingkari dua hadits yang dipedomani pendapat
pertama, akan tetapi memahami hadits tersebut dengan pemahaman yang
lebih luas. Maksudnya tidak semua did’ah itu dlalalah (sesat) akan
tetapi ada bid’ah itu yang hasanah (bagus) yaitu suatu hal baru yang
tidak merusak akidah dan tidak menyimpang dari syari’at.
As-Syaikh as-sayyid Muhammad Alawi dalam kitabnya “al-ihtifal bidzikro maulidin nabi” menyatakan :
قَالَ
اْلإِمَامُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَا أَحْدَثَ وَخَالَفَ
كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا أَوْ أَثَرًا فَهُوَ الْبِدْعَةُ
الضَّالَّةُ، وَمَا أَحْدَثَ مِنَ الْخَيْرِ وَلَمْ يُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ
ذَلِكَ فَهُوَ الْمَحْمُوْدُ.
Artinya :
“Imam
Syafi’i berpendapat bahwa amalan apa saja yang baru diadakan dan amalan
itu jelas menyimpang dari kitabullah, sunnah rasul, ijma’us shahabah
atau atsaratut tabi’in, itulah yang dikategorikan bid’ah dlalalah/sesat
atau tercela. Sedangkan amalan baik yang baru diadakan dan tidak
menyimpang dari salah satu dari empat pedoman di atas, maka hal tersebut
termasuk hal yang terpuji”.
Kemudian dalam kitab yang sama beliau (sayyid Muhammad Alawi) menyimpulkan pendapat Imam Syafi’i tersebut sebagai berikut :
فَكُلُّ
خَيْرٍ تَشْتَمِلُهُ اْلأَدِلَّةُ الشَّرْعِيَّةُ وَلَمْ يُقْصَدْ
بِإِحْدَاثِهِ مُخَالَفَةُ الشَّرِيْعَةِ وَلَمْ يَشْتَمِلْ عَلَى مُنْكَرٍ
فَهُوَ مِنَ الدِّيْنِ.
Artinya :
“Jadi
setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan
mengadakannya tidak ada maksud menyimpang dari aturan syari’at serta
tidak mengandung kemunkaran, maka hal itu termasuk “ad-din” (urusan
agama)”.
Dengan
demikian, menempatkan hukum riyoyo kupat harus dilihat dari substansi
masalahnya, yakni ajaran silaturrahim, saling memaafkan dan pemberian
shadaqah/sedekah yang mana hal tersebut perintahnya ada dalam dalil
syar’i, sementara teknisnya bisa dilakukan dengan beragam cara.
Dalil syar’i tentang silaturrahim antara lain : hadits riwayat Tirmidzi :
أَسْرَعُ الْخَيْرِ ثَوَابًا الْبِرُّ وِصِلَةُ الرَّحِمِ. رواه الترمذي عن عائشة
Artinya :
“Amal kebajikan yang paling cepat mendapatkan pahala adalah ketaatan dan silaturrahim”.
Dalil syar’i tentang memberikan maaf antara lain QS. An-Nur 22 :
وَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْا أَلاَ تُحِبُّوْنَ أَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ. النور : 22.
Artinya :
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada, apakah kamu tidak ingin Allah akan mengampunimu? Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang”. (QS. An-Nur : 22)
Dalil syar’i tentang memberikan sedekah antara lain :
تَصَدَّقُوْا وَلَوْ بِتَمْرَةٍ. رواه ابن المبارك
Artinya :
“Bersedakahlah kamu, meskipun hanya berupa sebutir kurma” (HR. Ibnu Mubarak).
Hadits riwayat Ibnu ‘Ady :
تَهَادُوْا الطَّعَامَ بَيْنَكُمْ، فَإِْنَّ ذَلِكَ تَوْسِعَةٌ فِيْ أَرْزَاقِكُمْ. رواه ابن عدي
Artinya :
“Hendaklah
kamu sekalian satu sama yang lain saling memberikan hadiah berupa
makanan, karena yang demikian itu bisa melapangkan rizkimu” (HR. Ibnu
‘Ady)
Wal-hasil,
tradisi kupatan tidak bisa disebut sebagai bid’ah atau tambahan dalam
beribadah. Tradisi kupatan adalah budaya lokal yang memiliki keterkaitan
dengan syari’at Islam. Maka dari itu kupatan tidak bisa dihukumi
sebagai penyimpangan, apalagi tindakan sesat (dlalalah).
0 Response to "TRADISI KUPATAN"
Post a Comment